Jumat, 09 Juli 2010

PERINGATAN HARI PENGUNGSI SEDUNIA 2009

Right of the Rightless: Peringatan Hari Pengungsi June 21, 2009
Posted by harison86 in Human Rights.
Tags: Hari Pengungsi, Hukum Pengungsi Internasional
add a comment

“Little is to be expected from present-day governments, since these live and act according to murederous code. Hope remains only in the most difficult task of all: to reconsider everything from the ground up, so as to shape a living society inside a dying society. Men must therefore, as individuals, draw up among themselves, within frontiers and across them, a new social contrat, which will unite them according to more reasonable principles” -Albert Camus

Di tengah hiruk pikuk menjelang Pemilihan Presiden tanggal 8 Juli mendatang, hanya ada sedikit porsi bagi kita untuk menengok keberadaan pengungsi yang masuk ke negara ini. Padahal konsepsi penghargaan hak asasi manusia di negara ini juga meliputi permasalahan pengungsi dan para pencari suaka. Tanggal 20 Juni lalu merupakan Hari Pengungsi.

Pengungsi dan Pencari Suaka dalam Hukum Internasional
Menurut data United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR), hingga bulan Juni 2009 tercatat ada 1.928 orang migran masuk ke Indonesia. Dari data tersebut terdapat 441 orang sebagai pengungsi dan 1.478 orang pencari suaka. Lebih lanjut, UNHCR mencatat lima negara asal pencari suaka dan pengungsi yang masuk ke Indonesia ialah Afghanistan (1.200 orang), Myanmar (300 orang), Irak (282 orang) dan sisanya dari negara Sri Lanka dan Somalia. Pusat penyebaran mereka pun terdapat di beberapa daerah seperti Jakarta (908 orang), Aceh (265 orang), Bogor (254 orang), Mataram (174 orang) dan di daerah lainnya 100 orang. Dari data tersebut, dapat kita asumsikan bahwa Indonesia merupakan tempat strategis, baik sebagai tempat mengungsi maupun sebagai tempat transit para pengungsi. Hal ini yang melatarbelakangi adanya kebutuhan yang penting dan mendesak yang perlu diakomodir oleh pemerintah, karena sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Wina 1951 tenang Status Pengungsi.

Permasalahan pengungsi dan pencari suaka sudah menjadi concern dunia internasional semenjak paska Perang Dunia II. Dalam forum konferensi khusus PBB, disepakatilah adanya Konvensi Wina 1951 tentang Status Pengungsi untuk mengatasi permasalahan pengungsi yang terjadi di Eropa pada masa itu. Pasal 1 Konvesi memberikan definisi Pengungsi sebagai “a person who is outside his/her country of nationality or habitual residence; has a well-founded fear of persecution because of his/her race, religion, nationality, membership in a particular social group or political opinion; and is unable or unwilling to avail himself/herself of the protection of that country, or to return there, for fear of persecution”. Jadi ada 3 unsur pembentuknya yaitu: berada di luar negaranya; adanya well-founded fear karena adanya persekusi; dan unable or unwilling untuk mempercayakan perlindungan dari negaranya. Lebih lanjut melalui instrumen Protokol Konvensi 1967, pembatasan wilayah geografis dan waktu dihapuskan, karena pada awalnya Konvensi hanya mencakup wilayah Eropa dan terjadi sebelum 1 Januari 1951. Pengecualian untuk status pengungsi ialah orang-orang yang telah melakukan crime against peace, war crime crimes against humanity atau serious non-political crime dan tentara yang masih aktif.

Worldlessness dan Post-traditional National Identity
Beberapa nilai dari konsepsi berikut banyak diilhami dari buah pemikiran seorang filsuf Yahudi, Hannah Arendt. Pemikirannya dilatar belakangi oleh problematika pengungsi sebagai akibat dari berbagai konflik antar negara (nasib orang Yahudi paska Perang Dunia II), atau yang disebutnya sebagai kondisi worldlessness. Untuk menjawabnya, Arendt menggambarkan beberapa isu sentral terkait permasalahan hak asasi manusia: ketidakcocokan kedaulatan nasional dengan martabat manusia dan tanggung jawab sipil; kebutuhan untuk memikirkan kembali pondasi etik hak asasi manusia di saat liberal pietis terkait hak natural telah kehilangan kredibilitasnya; dan kebutuhan untuk membentuk tatanan politik yang baru –international jurisprudence, regional and global forms of confederalism, unofficial forms of civic initiative-.

Dalam karyanya The Origins, Arendt mengajukan pertanyaan What does the loss of human rights suffered by “the rightless” mean? Setidaknya ada tiga jawaban Arendt terkait pertanyaan diatas: Pertama, it means the loss of the homes, of the security of existence and the familiarity provided by “the entire social texture into which they were born”. Kedua, it means “the loss of government protection”, the complete deprivation of legal status and the civil liberties and political freedoms that are based upon one’s legal standing. Ketiga, it means the loss of one’s very humanity. Lebih lanjut setidaknya perampasan hak yang paling fundamental di muka bumi ini ialah first and above all is manifested in the deprivation of a place in the world which makes opinions significant and actions effective … They are deprived, not of the rights to freedom, but of the rights to action; not the right to think whatever they please, but the right of opinion.


Pertanyaan ini baik untuk membuka wacana mengenai urgensi kebijakan yang perlu diambil pemerintah terkait isu pengungsi dan pencari suaka, karena bagaimanapun, seringkali para pengungsi menginap berbulan-bulan bahkan tahunan di tahanan imigrasi dalam statusnya sebagai stateless person. Lebih lagi, dalam statusnya yang demikian maka dia tidak berada dalam suatu kekuasaan kedaulatan negara manapun, sebagai konsekuensinya, haknya sebagai manusia tidak dapat diakui dimanapun dia menginjakkan kakinya. Selain yurisdiksi kedaulatan suatu negara, masalah lain yang menjadi pertimbangan terhadap perlindungan the rightless person ialah keamanan nasional. Tak dapat dipungkiri bahwa dengan masuknya pengungsi dari berbagai negara, maka dapat menggangu sifat netralitas negara penerima yang memiliki akibat langsung terhadap stabilitas keamanan antar negara.
Sebuah prinsip yang paling penting yang digagas oleh Arendt ialah bahwa setiap individu memiliki hak asasi yang diakui secara internasional bahkan ketika mereka ialah anggota dari bangsa minoritas yang tak memiliki kedaulatan teritorial. Untuk mencapai hal ini, dibentuklah sebuah prinsip federasi yaitu principle consistent with both the diversity of communities and the need to relax the political energies and tensions bound up with national sovereignty. Lebih lanjut ditambahkan bahwa a federal arrangement would require the renunciation, not of one’s own tradition and national past, but of the binding authority which tradition and past have always claimed. Prinsip federasi ini sejalan dengan pemikiran Jurgen Habermas tentang post-traditional national identity yang artinya a political identity capable of renouncing any kind of chauvinism and reflexively acknowledging its own partiality in a world of many nations and communities.


Kesimpulan
Sebagai bangsa yang menjujung tinggi penghormatan dan penegakan hak asasi manusia, hendaknya rejim pengaturan secara legal terhadap pengungsi dan pencari suaka di negara ini bisa diciptakan lebih komprehensif, baik mekanisme hukum dan kelembagaannya. Salah satu langkah strategis ialah dengan meratifikasi Konvensi Wina 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokolnya. Memang kebijakan luar negeri belum menjadi hal yang populer dan menjual pada masa kampanye saat ini. Kebijakan soal hak asasi manusia seringkali dilihat hanya sesempit masalah perut, namun sebenarnya terdapat banyak ancaman terhadap martabat manusia, termasuk masalah pengungsi dan pencari suaka. Sebagaimana Arendt berpendapat bahwa human rights are not a given of human nature; they are the always tenuous results of a politics that seeks to establish them, a vigorous politics intent on constituting relatively secure spaces of human freedom and dignity. Jadi, sebagai negara bangsa, Indonesia justru jangan menjadi pengahalang terhadap ‘pencarian’ martabat manusia dengan hanya mengakui hak suaka dalam konstitusi, namun lebih melihat ini sebagai the fundamental deprivation of human rights.

Jogja, le 21 Juin

Kamis, 08 Juli 2010

Kebijakan Australia Atasi Pengungsi

Australia Perketat Persyaratan Suaka

Perdana Menteri Australia Julia Gillard
Großansicht des Bildes mit der Bildunterschrift: Perdana Menteri Australia Julia Gillard
Pemerintah Australia menggulirkan kebijakan suaka baru. Perdana Menteri Julia Gillard ingin bekerjasama dengan Timor Leste, membangun Pusat Penampungan Pengungsi Regional.


Pemerintah Australia akan kembali memproses permintaan suaka para pengungsi Sri Lanka. Begitu ungkap Perdana Menteri Australia Julia Gilliard Selasa (06/07) di Canberra. Dikatakannya, Australia akan bekerjasama dengan negara tetangga dalam urusan pengungsi, dengan Indonesia dalam isu perdagangan manusia. Australia juga berencana untuk membangun Pusat Penampungan Pengungsi Regional bersama Timor Leste.

Menurut Gillard, tidak hanya Perdana Menteri Selandia Baru John Key yang menyambut rencana itu, melainkan juga Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta. Gillard mengungkapkan, "Beberapa hari lalu saya sudah berbicara dengan Presiden Timor Leste Ramos-Horta, mengenai pembangunan Pusat Penampungan Pengungsi Regional. Para imigran ilegal akan diperiksa di sana. Dengan begitu bisa dipastikan, bahwa komplotan pedagang manusia tidak lagi memiliki dasar usaha, karena setiap orang yang datang dengan kapal ke Australia secara ilegal akan otomatis dikirim ke pusat penampungan itu.“

Pembekuan proses suaka bagi warga Sri Lanka sudah berlangsung selama tiga bulan dan Perserikatan Bangsa bangsa telah mengkiritk tajam hal itu. Sementara, pemerintah Australia mensinyalir bahwa para pengungsi datang melalui negara-negara stabil dan aman seperti, Thailand, Indonesia atau Malaysia, karenanya tidak memiliki hak atas suaka di Australia.

Selain itu, Menurut Gilliard, laporan terakhir PBB mencatat perbaikan situasi keamanan di Srilanka. Oleh sebab itu, tidak setiap warga Tamil bisa dianggap terancam secara politik. Gilliard mengatakan, "Harus dipastikan, bahwa setiap pengungsi mendapatkan proses pemohonan suaka yang adil dan bisa diandalkan, sehingga mereka yang datang dengan kapal ke Australia tidak diuntungkan semata karena sudah berada di wilayah Australia. Pusat Penampungan Pengungsi Regional itu harus dikelola dengan tertib dan diawasi“.

Menurut keterangan resmi, Australia tahun 2010 ini telah menerima 3.000 imigran pengungsi. Tahun 2009 lalu, jumlah keseluruhan pengungsi 2.750 orang. Pakar isu suaka dari Universitas Melbourne James Hathaway menilai, Australia semestinya malu menggunakan ungkapan gelombang pengungsi, karena jumlah pengungsi yang minta suaka di Australia kurang dari 0,1 persen seluruh suaka di dunia.

Namun isu imigrasi sangat sensitif di Australia. Empat tahun lalu, masalah imigrasi dan suaka merupakan salah satu alasan anjloknya popularitas Kevin Rudd. Mantan perdana menteri Australia itu memiliki visi tentang Australia yang tumbuh besar bersama para imigran baru.

Kini menghadapi pemilu, Gilliard yang juga seorang imigran, menegaskan bahwa persyaratan untuk mendapatkan suaka akan diperketat. Dalam anggaran belanja nasional Australia 2010-2011 yang baru diumumkan, anggaran keimigrasian untuk pertama kalinya ditempatkan di bawah payung anggaran belanja keamanan nasional. 1,2 milyar Dolar dianggarkan untuk pembelian kapal penjaga perbatasan dan untuk kerjasama keimigrasian dengan negara tetangga. Pusat Penampungan Pengungsi Regional di Timor Leste diharapkan mengurangi jumlah pengungsi yang langsung mendarat di Australia.

Bernd Musch-Borowska/Edith Koesoemawiria
Editor: Christa Saloh
Gillard diimbau jangan kembali ke kebijakan pencari suaka Howard

* Cetak
* Email

Diperbaharui July 7, 2010 11:04:40


Kelompok-kelompok HAM memperingatkan agar Perdana Menteri Julia Gillard tidak menghidupkan lagi kebijakan pemerintah Howard yang disebut "solusi Pasifik".

Dalam program pemerintah koalisi Australia terdahulu itu, pencari suaka diirim ke Nauru dan Pulau Manus di Papua New Guinea untuk diproses.

Perdana Menteri Gillard mengumumkan sedang membahas dengan Timor Leste dan Selandia Baru kemungkinan membuka suatu pusat pemrosesan immigrasi di Timor Leste.

Kata Gillard, ia juga sudah membicarakan usulannya itu dengan Komisaris Tinggi PBB urusan Pengungsi, Antonio Guterres.

Direktur Amnesty International Australia mengatakan akan sangat prihatin kalau solusi jangka panjang yang diusulkan Gillard ini sama saja dengan solusi Pasifik dengan nama lain.

Sementara itu Dr Sam Pari dari Kongres Tamil Australia menyambut baik pencabutan pembekuan pemrosesan klaim pencari suaka dari Sri Lanka.

Pemerintah Selandia Baru mengatakan bersedia bekerjasama dengan Australia dalam pendekatan regional untuk menangani masalah pencari suaka.

Selandia Baru mengatakan akan mempertimbangkan usulan Australia untuk membuka pusat pemrosesan immigrasi di Timor Leste, tapi Perdana Menteri John Key mengatakan Selandia Baru tidak akan menaikkan kuota pengungsi yang diterimanya sekarang ini, yakni 750 orang setiap tahunnya.

Kata Perdana Menteri Key, Selandia Baru berpendapat solusinya harus dipastikan berfungsi sebagai penangkal kuat terhadap para pencari suaka dan bukannya sebagai magnet yang akan meningkatkan jumlah kapal yang datang ke Australia dan mungkin juga Selandia Baru.

Sementara Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta mengatakan rencana pemerintah Australia untuk membuka pusat pemrosesan pengungsi di negaranya masih belum ada rinciannya.

Deputi Perdana Menteri Jose Luis Guterres berpendapat negaranya tidak sanggup menyelenggarakan suatu pusat pemrosesan mengingat masih demikian banyaknya masalah sosial yang dihadapi di Timor.

Seorang anggota parlemen Timor Leste dari pihak oposisi mengatakan, belum pernah mendengar usulan tersebut dan mengatakan keputusan diterima tidaknya bukan berada di tangan Presiden.

Sementara itu, oposisi Australia menyebut rencana pemerintah itu cuma janji pemilu yang hampa dan tak akan pernah terjadi.

Sebaliknya pemerintah mengeritik usulan oposisi untuk memperkeras kebijakan menyangkut pengungsi.

Koalisi oposisi mengatakan akan memperkeras peraturan pemrosesan bagi para pencari suaka yang dengan sengaja memusnahkan surat identitas dan akan memberi menteri wewenang yang lebih besar untuk memulihkan integritas pemrosesan.

Akan tetapi Menteri Immigrasi Chris Evans mengatakan hal itu akan melanggar kewajiban internasional Australia dan banyak langkah yang disebutkan oposisi itu tidak mungkin dilakukan berdasarkan konvensi pengungsi.

Jaringan pencari suaka mengatakan, kebijakan baru pemimpin oposisi mengenai perlindungan perbatasan menunjukkan ia tidak mengerti trauma yang dirasakan orang-orang sewaktu lari dari negeri mereka.

Kebijakan Australia Tangani Pencari Suaka

Gillard diimbau jangan kembali ke kebijakan pencari suaka Howard

* Cetak
* Email

Diperbaharui July 7, 2010 11:04:40


Kelompok-kelompok HAM memperingatkan agar Perdana Menteri Julia Gillard tidak menghidupkan lagi kebijakan pemerintah Howard yang disebut "solusi Pasifik".

Dalam program pemerintah koalisi Australia terdahulu itu, pencari suaka diirim ke Nauru dan Pulau Manus di Papua New Guinea untuk diproses.

Perdana Menteri Gillard mengumumkan sedang membahas dengan Timor Leste dan Selandia Baru kemungkinan membuka suatu pusat pemrosesan immigrasi di Timor Leste.

Kata Gillard, ia juga sudah membicarakan usulannya itu dengan Komisaris Tinggi PBB urusan Pengungsi, Antonio Guterres.

Direktur Amnesty International Australia mengatakan akan sangat prihatin kalau solusi jangka panjang yang diusulkan Gillard ini sama saja dengan solusi Pasifik dengan nama lain.

Sementara itu Dr Sam Pari dari Kongres Tamil Australia menyambut baik pencabutan pembekuan pemrosesan klaim pencari suaka dari Sri Lanka.

Pemerintah Selandia Baru mengatakan bersedia bekerjasama dengan Australia dalam pendekatan regional untuk menangani masalah pencari suaka.

Selandia Baru mengatakan akan mempertimbangkan usulan Australia untuk membuka pusat pemrosesan immigrasi di Timor Leste, tapi Perdana Menteri John Key mengatakan Selandia Baru tidak akan menaikkan kuota pengungsi yang diterimanya sekarang ini, yakni 750 orang setiap tahunnya.

Kata Perdana Menteri Key, Selandia Baru berpendapat solusinya harus dipastikan berfungsi sebagai penangkal kuat terhadap para pencari suaka dan bukannya sebagai magnet yang akan meningkatkan jumlah kapal yang datang ke Australia dan mungkin juga Selandia Baru.

Sementara Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta mengatakan rencana pemerintah Australia untuk membuka pusat pemrosesan pengungsi di negaranya masih belum ada rinciannya.

Deputi Perdana Menteri Jose Luis Guterres berpendapat negaranya tidak sanggup menyelenggarakan suatu pusat pemrosesan mengingat masih demikian banyaknya masalah sosial yang dihadapi di Timor.

Seorang anggota parlemen Timor Leste dari pihak oposisi mengatakan, belum pernah mendengar usulan tersebut dan mengatakan keputusan diterima tidaknya bukan berada di tangan Presiden.

Sementara itu, oposisi Australia menyebut rencana pemerintah itu cuma janji pemilu yang hampa dan tak akan pernah terjadi.

Sebaliknya pemerintah mengeritik usulan oposisi untuk memperkeras kebijakan menyangkut pengungsi.

Koalisi oposisi mengatakan akan memperkeras peraturan pemrosesan bagi para pencari suaka yang dengan sengaja memusnahkan surat identitas dan akan memberi menteri wewenang yang lebih besar untuk memulihkan integritas pemrosesan.

Akan tetapi Menteri Immigrasi Chris Evans mengatakan hal itu akan melanggar kewajiban internasional Australia dan banyak langkah yang disebutkan oposisi itu tidak mungkin dilakukan berdasarkan konvensi pengungsi.

Jaringan pencari suaka mengatakan, kebijakan baru pemimpin oposisi mengenai perlindungan perbatasan menunjukkan ia tidak mengerti trauma yang dirasakan orang-orang sewaktu lari dari negeri mereka.

Wahana tempat berbagi penstudi hukum pengungsi internasional

Bagi mereka yang memiliki opini, berita hukum pengungsi mohon disampaikan kepada kami untuk disajikan dalam website ini.