Jumat, 16 Juli 2010

Menlu RI dan Menludag Australia Bahas Kerja Sama Eratkan Kedua Negara

Kamis, 15 Juli 2010

Menteri Luar Negeri Dr. R.M. Marty Natalegawa bersama Menteri Luar Negeri dan Perdagangan Australia, Stephen Smith, telah melakukan pertemuan bilateral untuk membahas peningkatan kerja sama dan isu-isu yang menjadi perhatian kedua negara di Gedung Pancasila, Kemlu RI, siang ini (15/7). Pertemuan merupakan tindak lanjut pasca kunjungan Presiden RI ke Australia, Maret lalu.

Dalam konferensi pers yang diselenggarakan seusai pertemuan bilateral, Menlu Natalegawa menyampaikan bahwa dirinya sangat menyambut baik kunjungan Menludag Smith ke Indonesia untuk membahas kerja sama bilateral. Kunjungan ini merupakan kunjungan keenam Smith dan yang pertama sebagai Menludag Australia pada pemerintahan PM Julia Gillard.

Di hadapan media kedua negara, kedua menteri menyatakan hubungan Indonesia dan Australia saat ini terjalin sangat erat dan terus mengalami peningkatan kerja sama di berbagai bidang khususnya hubungan antar masyarakat. “Hubungan kedua negara tidak pernah sebaik ini”, ujar Smith.

Upaya-upaya yang akan dilakukan untuk meningkatkan hubungan kedua negara adalah rencana penyelenggaraan Annual Leaders Meeting yang merupakan pertemuan reguler tahunan kedua kepala negara, pertemuan rutin antara Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan kedua pihak, serta meningkatkan kerja sama di berbagai modalitas lainnya, antara lain hubungan antar masyarakat.

Pada kesempatan tersebut Menlu Natalegawa juga menerima dokumen resmi dari Menludag Smith yang berisikan informasi detil mengenai kerja sama yang telah dilakukan kedua negara untuk meningkatkan hubungan antar masyarakat kedua negara.

Selain membahas kerja sama bilateral, pertemuan juga membahas mengenai isu-isu regional yang menjadi perhatian kedua belah pihak, di antaranya kerja sama dengan ASEAN, isu penyelundupan manusia dan perdagangan orang (trafficking in person) di kawasan, masalah ekstradisi, perlindungan kekonsuleran dan masalah pencemaran minyak di Montara.

Terkait pertanyaan dari media mengenai posisi Indonesia terhadap rencana pendirian Regional Processing Centre untuk pencari suaka di Timor Leste yang dikemukakan oleh PM Julia Gillard, Menlu Natalegawa menyatakan dapat mengerti alasan munculnya usulan tersebut, namun hal ini masih perlu dibahas lebih lanjut dengan berbagai pihak.

Menurut Menlu, yang terpenting dari penyelesaian masalah pencari suaka ini adalah perlunya kerangka kerja dan proses di kawasan, sesuatu yang selama ini telah dibahas secara intensif antara Indonesia dengan Australia melalui pertemuan Bali Process. Usulan mengenai Regional Processing Centre akan menjadi bagian penting dalam pembahasan penyususnan kerangka kerja dan proses tersebut.

Pembentukan Regional Processing Centre ini akan dibahas lebih lanjut pada pertemuan Bali Process tingkat menteri mendatang.

Peresmian Madrasah Balaraja

Sebelum melakukan pertemuan bilateral, Menludag Smith meresmikan Madrasah Balaraja di Propinsi Banten, yang juga disaksikan Menlu Natalegawa pagi ini. Peresmian Madrasah ini merupakan tanda selesainya pembangunan sekolah ke-2000 di bawah Australia-Indonesia Basic Education Program. “Kami sangat bahagia dapat memberikan sesuatu untuk membantu para anak-anak bersekolah” ujar Smith.

Menlu Natalegawa, sambil menyampaikan rasa apresiasinya, juga menyatakan bahwa pembangunan sekolah–sekolah ini menjadi bentuk nyata kerja sama kedua negara yang berdampak langsung bagi masyarakat, khususnya di bidang pendidikan.

Selama dua hari kunjungannya di Indonesia (14-15 Juli 2010), Menludag Smith juga melakukan pertemuan dengan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Kamar Dagang Indonesia (KADIN) dan meresmikan Fasilitas Penanggulangan Bencana Australia – Indonesia. Fasilitas yang akan bertempat di gedung Menara Thamrin, Jakarta, ini merupakan bentuk kerja sama kedua negara dalam penanggulangan bencana di Indonesia dan kawasan. (Sumber: Dit. Infomed/HO)

Indonesia-Australia bahas soal Imigran Pencari suaka

Banyak pencari suaka yang ditempatkan sementara di Indonesia

Indonesia masih menunggu pembicaraan Australia dengan Pemerintah Timor Leste terkait rencana pembangunan pusat pemrosesan imigran pencari suaka di bekas provinsi Indonesia itu.

Meski demikian Indonesia tetap menganggap rencana ini adalah bagian dari kerangka kerja regional untuk mencari solusi para imigran pencari suaka.

Masalah ini disampaikan Menteri Luar Negeri dan Perdagangan Australia Stephen Smith saat menemui Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa, Kamis (15/07/2010) di Jakarta.

Dalam kunjungan kali ini, Menteri Luar Negeri dan Perdagangan Australia Stephen Smith mengakui salah satu pokok pembicaraan adalah ide Australia mendirikan pusat pemrosesan pencari suaka di Timor Leste.

Menlu Smith mengatakan ini merupakan bagian dari kerangka kerja regional dalam mengatasi masalah para pencari suaka.

''Saya sangat senang bisa menjelaskan proposal PM Gillard kepada Menlu Marty mengenai kerangka kerja regional soal perdagangan manusia dan pengungsi serta pusat proses suaka regional''.

''Proposal ini akan efektif dengan dukungan regional, badan PBB urusan pengungsi dan dukungan negara-negara tujuan pengungsi di seluruh kawasan ini'', kata Smith.

Proposal ini akan efektif dengan dukungan regional, badan PBB urusan pengungsi dan dukungan negara-negara tujuan pengungsi di seluruh kawasan ini

Stephen Smith

Smith menambahkan kalau dalam tiga hari belakangan, para pejabat Australia sudah bertemu dengan pejabat Timor Leste dan Indonesia dan menjamin pembicaraan akan terus berlangsung.

Proposal pembangunan pusat pemrosesan suaka mulanya datang dari perdana menteri Australia yang baru dilantik, Julia Gillard, dengan usulan lokasi di Timor Leste.

Gillard beralasan pembangunan tempat ini adalah cara memutus rantai penyelundupan manusia yang sebagain besar menyasar Australia.

Pemerintah Australia, menurut Menlu Smith, dalam waktu dekat juga akan menggelar pembicaraan dengan Indonesia dan Timor Leste untuk pembahasan lebih lanjut.

Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa mengatakan bisa memahami alasan Australia melontarkan konsep ini:

''Indonesia melihat ide itu sebagai sebuah komponen potensial dalam sebuah kerangka kerja regional. Dan saya mendapat informasi dari Menlu Smith tentang alasan di belakang ide itu dan pembicaraan yang telah dilakukan dengan negara-negara di kawasan ini''.

''Saya dapat memahami alasan di belakang ide tersebut. Dalam beberapa pekan mendatang kita akan mengapresiasi konsep ini lebih baik'', kata Marty Natalegawa.

Konsep Australia ini sudah mendapat penolakan parlemen Timor Leste.
Resiko bagi Indonesia

Resikonya adalah bahwa konsentrasi pengungsian bisa menimbulkan suatu keonaran mengingat negara itu belum sama sekali stabil

Sabam Siagian

Mantan duta besar Indonesia untuk Australia, Sabam Siagian menilai kalau rencana ini jadi dilaksanakan, maka Indonesia menghadapi resiko mengingat Indonesia berbatasan langsung dengan wilayah Timor Leste.

"Kita ini cukup memberikan perhatian dan pengertian lho," tegas Sabam merujuk pada masalah banyaknya pencari suaka yang berusaha mencapai Australia.

Tetapi, menurut Sabam, untuk mendirikan suatu penampungan pengungsian di dekat perbatasan Indonesia di di Timor Leste yang menurut Indonesia belum begitu belum stabil adalah sesuatu yang beresiko.

"Resikonya adalah bahwa konsentrasi pengungsian bisa menimbulkan suatu keonaran dan macam-macam, mengingat negara itu belum sama sekali stabil," lanjut Sabam Siagian.

Bali Nine dan Pencari Suaka Akan Jadi Agenda

Tim Liputan 6 SCTV


Artikel Terkait

* Australia Alihkan Utang Indonesia ke Program Kesehatan
* Australia Usulkan Calon Dubes Baru
* Janda Korban Balibo Datangi Tanah Kusir

09/03/2010 10:48
Liputan6.com, Canberra: Kasus terpidana mati kelompok Bali Nine yang dipidana karena penyelundupan narkoba, tampaknya akan menjadi salah satu agenda yang diusulkan Australia untuk menjadi bahan pembicaraan Presiden Yudhoyono dan Perdana Menteri Kevin Rudd.

Menteri Luar Negeri Australia Stephen Smith kepada Sky News seperti dikutip Sydney Morning Herald Selasa (9/3) mengatakan, ia berharap kasus terpidana mati Scott Rush akan muncul dalam pembicaraan kedua kepala negara [baca: Empat.Anggota.Bali.Nine.Dijatuhi.Hukuman.Mati]. Pemerintah Australia sendiri baru akan membuat permohonan terakhir untuk pengampunan kepada Presiden Yudhoyono setelah proses hukum selesai.

Smith mengatakan, Pemerintah Australia telah mewarisi hubungan yang baik dengan Indonesia dari para pendahulu mereka dan hubungan itu akan lebih ditingkatkan. Ia mengatakan telah ada perubahan hubungan kedua negara bertetangga ini sehingga masalah-masalah seperti hukuman mati dan penyelundupan manusia bisa dibicarakan dengan baik layaknya masalah yang biasa.

"Ada waktu di masa lalu ketika isu-isu tersebut mengguncang hubungan kita, tetapi kini hubungan (Australia-Indonesia,red) sudah jauh lebih matang," kata Smith.

Presiden Yudhoyono sendiri akan bertemu Perdana Menteri Kevin Rudd di parlemen Australia Rabu besok (10/3). Media Lokal Australia menyebutkan, masalah kesepakatan dalam menangani meningkatnya jumlah kapal pencari suaka yang melalui Indonesia dan masuk ke Australia juga akan menjadi salah satu isu penting pada pertemuan ini.

Pada kunjungan kali ini, Presiden Yudhyono didampingi sejumlah menteri diantaranya Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.

Menteri Perdagangan Marie Elka Pengestu akan bertemu Menteri Perdagangan Australia Simon Crean sore ini. Pembicaraan akan mencakup kemungkinan perjanjian perdagangan bebas.

Menurut ANTARA Selain para menteri, sejumlah gubernur juga mendampingi Presiden, antara lain Gubernur Papua Barnabas Suebu, Gubernur Papua Barat Abraham Ataruri dan Gubernur Bali Mangku Pastika.(MLA)

Timor Leste Pusat Suaka, Indonesia Santai

Kamis, 8 Juli 2010 - 19:33 wib
text TEXT SIZE :
Share
Fajar Nugraha - Okezone

JAKARTA - Pemerintah Australia menyatakan rencananya untuk menjadikan Timor Leste sebagai tempat proses bagi pencari suaka. Indonesia memandang santai langkah yang diambil oleh Pemerintahan Perdana Menteri (PM) Julia Gillard tersebut.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di sela-sela menerima kunjungan Menteri Luar Negeri Meksiko Patricia Espinosa, menyatakan pemerintah masih memperhatikan kebijakan oleh PM Gillard tersebut. Berikut wawancara singkat Menlu Natalegawa dengan para wartawan di Gedung Pancasila, Jakarta.

Pemerintahan PM Julia Gillard menyatakan akan menjadikan Timor Leste sebagai pemrosesan bagi pencari suaka, apakah Pemerintah Indonesia akan protes?

Untuk apa kami melakukan hal itu (protes)? Kami juga belum melakukan apapun. Kami baru mendengar pengumuman dari pemerintahan baru Australia beberapa hari lalu. Jadi belum perlu menanggapi.

Apakah Pemerintah Indonesia menginginkan Pemerintah Timor Leste menerima rencana tersebut?

Bukan hak kami untuk memaksakan pendapat ke negara lain. Kami dengar rencana untuk membuat pemrosesan regional tersebut masih belum dirilis resmi. Kami tidak tahu lokasi pemrosesan pencari suaka itu dibangun, dengan kata lain rencana ini masih sedang dimatangkan oleh Pemerintah Australia.

Apakah Pemerintah Indonesia menilai rencana ini sebuah langkah tepat, apakah Indonesia punya masalah dengan langkah yang diambil Pemerintah Australia ini?

Seperti saya katakan sebelumnya, yang paling prinsip saat ini melihat kebijakan tersebut secara keseluruhan tentang apa yang ada di balik kebijakan itu sebenarnya. Saya tidak ingin berkomentar sebelum maksud dari kebijakan tersebut dijelaskan secara detail. Di saat bersamaan Indonesia dan Australia sangat konsisten, dalam menghadapi masalah pengungsi atau pencari suaka.

Kedua negara harus terus menyelesaikan masalah ini dengan pendekatan yang komprehensif dengan melibatkan negara asal dari pencari suaka tersebut.

Australia tidak berkonsultansi dengan Indonesia mengenai penunjukan Timor Leste ini, apakah Indonesia merasa dilecehkan?

Tidak ada tempat untuk emosi dalam hubungan diplomasi. Pemecahan masalah dalam lingkungan internasional seharusnya diselesaikan dengan pikiran yang jernih dan dialog konstruktif serta secara rasional.

Hal ini adalah pengumuman kebijakan dari pemerintah baru Australia, tidak hanya mengenai isu pencari suaka tetapi isu-isu nasional dari Australia. Kami tidak dapat menyerang kebijakan internal yang dikeluarkan oleh negara lain.

Pada Bali Process, apakah Australia sempat mengutarakan kebijakan penunjukan Timor Leste sebagai tempat pemrosesan bagi pencari suaka?

Tidak ada kebijakan tersebut dikeluarkan oleh Pemerintah Australia pada pertemuan Bali Process. Pertemuan tersebut membicarakan banyak sekali pemecahan mengenai pencari suaka, tetapi yang menjadi agenda utama dari pertemuan tersebut adalah menyatukan cara pemecahan utama dari masalah pencari suaka ini.

Selain Bali Process, Indonesia dan Australia juga menggunakan Piagam Lombok dalam pemecahan masalah pencari suaka ini, serta instrumen-instrumen lain yang dilakukan oleh kedua negara mengenai masalah ini.

Tetapi lagi-lagi pemerintah belum mengetahui detail dari kebijakan tersebut. Jadi pemerintah belum berhak untuk memberikan pendapat mengenai masalah ini. Tetapi Indonesia mengharapkan masalah ini dapat dipecahkan dengan semangat regional kedua negara.
(faj)

Panglima Perintahkan Perketat Pengamanan

Minggu, 11 Jul 2010, | 92

Timor Leste Negara Suaka, RI Netral
JAKARTA,Timex-Pemerintah Republik Indonesia menempatkan diri dalam dalam posisi netral terkait rencana Australia menjadikan Timor Leste sebagai tempat bagi pencari suaka.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa di sela-sela menerima kunjungan Menlu Meksiko, Patricia Espinosa, menyatakan pemerintah masih membaca kebijakan PM Julia Gillard tersebut secara umum. Artinya, belum ada komunikasi bilateral antara poros RI-Australia terkait rencana itu.

"Yang pasti kami tidak akan memrotes. RI belum melakukan apapun. Pemerintah baru mendengar pengumuman dari pemerintahan baru Australia beberapa hari lalu. Jadi belum perlu menanggapi hal itu," ujar Marty ketika ditemui di Kemenlu Jumat (9/7) lalu.

Marty menilai, Indonesia juga tidak berhak memaksakan pendapat kepada pemerintah Timor Leste. Mantan perwakilan khusus RI untuk PBB itu mengatakan, rencana membuat kawasan pemrosesan regional tersebut masih belum dirilis resmi oleh Australia. "Kami tidak tahu lokasi pemrosesan pencari suaka itu dibangun, dengan kata lain rencana ini masih sedang dimatangkan oleh Pemerintah Australia." ujar pria bernama panjang Raden Mohammad Marty Muliana Natalegawa tersebut.

Dalam konteks diplomasi regional, Indonesia melihat kebijakan itu secara keseluruhan terkait apa yang sejatinya ada di balik rencana Australia tersebut. Karena itu, Marty, tidak ingin berkomentar sebelum tujuan dari kebijakan tersebut dijelaskan secara detail oleh pemerintah Australia. "Di saat yang bersamaan Indonesia dan Australia sangat konsisten dalam menghadapi masalah pengungsi atau pencari suaka." Kata suami Sranya Bamrungphong tersebut.

Menurut Marty, kedua negara harus terus menyelesaikan masalah ini dengan pendekatan yang komprehensif dengan melibatkan negara asal dari pencari suaka tersebut. Dia mengatakan, Indonesia juga tidak merasa dilecehkan dalam konteks hubungan diplomasi. "Karena pemecahan masalah dalam lingkungan internasional seharusnya diselesaikan dengan pikiran yang jernih dan dialog konstruktif serta secara rasional," terangnya.

Juru bicara Kemenlu, Teuku Faizasyah menambahkan, besar kemungkinan dalam waktu dekat Australia akan melakukan konsultasi secara komprehensif terkait isu tersebut. Karena pada 14 Juli mendatang, Menlu Australia Stephen Smith berencana untuk melakukan kunjungan bilateral ke Jakarta. "Agenda pastinya memang masih disusun, tapi tidak menutup kemungkinan isu yang paling baru juga akan menjadi topic dalam hal ini terkait Timor Leste tersebut," terang Faiza.

Faiza membenarkan bahwa telah ada komunikasi awal antara kedua Menlu via telepon. Namun, materi yang dibahas dalam pembicaraan itu masih sangat premature dan belum bisa dijadikan pijakan bagi pemerintah RI untuk menentukan sikap terkait kebijakan Australia tersebut.
Di sisi lain, terkait solusi pencari suaka di poros regional Indonesia-Australia-Timor Leste pemerintah lebih mengedepankan forum Bali Process.

Yakni forum diskusi regional yang memang fokus pada upaya mencari solusi problem pencari suaka. Selain Bali Process, Indonesia dan Australia juga menggunakan Piagam Lombok dalam pemecahan masalah pencari suaka tersebut.

"Tetapi kami tegaskaan lagi bahwa pemerintah belum mengetahui detail dari kebijakan tersebut. Jadi kami merasa belum berhak memberikan pendapat. Indonesia mengharapkan masalah ini dapat dipecahkan dengan semangat regional kedua negara." Pungkas Faiza.
Di sisi lain, sebelum mencuatnya isu tersebut per 1 Februari silam Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso telah memerintahkan prajurit di perbatasan Indonesia-Timor Leste dan Australia memperketat penjagaan.

Karena, lokasi di perbatasan antara Indonesia-Timor Leste dan Australia terdiri dari pulau-pulau yang membutuhkan sarana transportasi dan komunikasi yang memadai sehingga harus mendapat penjagaan yang ketat.

Selain itu, Panglima TNI juga meminta jajaran TNI mengawal transisi demokrasi yang saat ini sedang berlangsung demi menjaga stabilitas nasional. "Karena selama 11 tahun reformasi, demokrasi di Indonesia masih dalam masa transisi, maka jajaran TNI harus turut ambil bagian untuk menyukseskan masa transisi tersebut." ujarnya ketika menyampaikan perintah tersebut.(zul/jpnn)

Menlu: Pusat Pencari Suaka Masih Harus Dibicarakan

Kamis, 15 Juli 2010 17:18 WIB | Peristiwa | Politik/Hankam | Dibaca 432 kali
Menlu: Pusat Pencari Suaka Masih Harus Dibicarakan
Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa (kanan) bersama Menteri Luar Negeri dan Perdagangan Australia Stephen Smith (kiri) menjawab pertanyaan wartawan saat konferensi pers di Gedung Kementrian Luar Negeri RI di Jakarta, Kamis (15/7). (ANTARA/HO/ip)
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa mengatakan bahwa masih terlalu dini untuk berkomentar mengenai pusat pencari suaka regional dan masih membutuhkan pembicaraan lebih lanjut.

"Pembicaraan masih perlu dilanjutkan karena kami tidak terfokus dengan pusat pencari suaka regional saja, tetapi kami memiliki pandangan yang lebih luas, yaitu pandangan dalam kerangka kerja regional (regional framework)," kata Menlu RI bersama Menteri Luar Negeri dan Perdagangan Australia Stephen Smith setelah pertemuan bilateral kedua menteri di Jakarta, Kamis.

Marty Natalegawa menyampaikan kedua negara mencoba untuk membangun kerangka kerja regional, termasuk pendekatan regional dalam menangani masalah penyeludupan manusia dan perdagangan manusia.

"Alasan kami membangun pusat pencari suaka regional untuk mengurangi insentif atau dorongan untuk melakukan penyeludupan manusia dan perdagangan manusia," kata Menludag Australia Stephen Smith dalam kunjungan yang keenam kalinya ke Indonesia.

Ia menyatakan penting untuk membangun pusat pencari suaka regional, namun masih belum memiliki kesepakatan antara negara transit dan negara tujuan.

"Kebijakan in tidak akan berjalan tanpa dukungan dari kawasan, atau dukungan dari UNHCR," tegasnya.

Ia pun setuju dengan Marty, menyatakan bahwa pembicaraan masih berada pada tahap awal dan akan dibahas lebih mendalam pada minggu-minggu mendatang.

Dalam kabinet pemerintah PM Julia Gillard, Stephen Smith menjabat dua kementerian, kementerian luar negeri dan perdagangan, dan kunjungan kali ini merupakan pertama kalinya saat menjabat sebagai menteri perdagangan.

Kunjungan Menlu Australia kali ini memiliki jadwal yang penuh, antara lain menghadiri peresmian sekolah Madrasah Ibtidaiyah Negeri, di Balaraja, Banten, Kamis pagi, kemudian pertemuan bilateral dengan Menlu RI, lalu setelah makan siang di Kementerian Luar Negeri, Stephen melanjutkan pertemuan bilateral dengan Menteri Perdagangan RI Mari Elka Pangestu.

Diskusi dengan Menlu Marty Natalegawa berkisar masalah transnasional, seperti penyeludupan manusia dan perdagangan manusia, masalah ekstradisi, masalah perlindungan konsuler dan masalah pencemaran minyak, yaitu masalah tumpahan minyak dari kilang minyak Montara milik Australia hingga Celah Timor di selatan laut Indonesia.

Stephen Smith, yang tiba pada Rabu malam, dijadwalkan kembali ke negaranya malam ini.

Senin, 12 Juli 2010

Pencari Suaka Sri Lanka Imigrasi Tutup Akses Bantuan untuk Pencari Suaka

(en) 17 November 2009 - 15:27 WIB
Kurniawan Tri Yunanto

VHRmedia, Jakarta – Kantor Imigrasi Provinsi Banten menutup akses bantuan bagi pencari suaka asal Sri Lanka yang ditahan di atas kapal kayu di Pelabuhan Indah Kiat, Cilegon. Akibatnya, puluhan pencari suaka mulai terserang berbagai penyakit.

Rafi, salah seorang pencari suaka, mengatakan, kawasan Pelabuhan Indah Kiat kini dijaga personel TNI Angkatan Laut. Wartawan yang akan meliput kondisi para pencari suaka dilarang masuk.

“Tidak jelas maksudnya. Media sampai saat ini tidak bisa melakukan liputan. Pengungsi mulai menderita diare, karena beberapa hari ini turun hujan,” kata Rafi ketika dihubungi lewat telepon, Selasa (17/11).

Menurut Rafi, UNHCR belum dizinkan mengunjungi para pencari suaka. International Organization for Migration (IOM) juga mulai mengurangi jumlah bantuan. “Tidak ada organisasi lain lagi yang masuk.”

Joko Sumatri, anggota Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Pencari Suaka dan Pengungsi, mengatakan akses mengunjungi para pencari suaka ditutup setelah Komnas HAM datang di lokasi beberapa minggu lalu. “Minggu kemarin kami ke sana untuk memberi bantuan sisir, cermin, dan sim card sesuai permintaan, tapi tidak boleh masuk.”

Hujan yang turun selama beberapa hari terakhir membuat kondisi kesehatan para pencari suaka semakin buruk. Kapal kayu yang memuat 255 orang pencari suaka hanya memiliki 1 toilet.

Para pencari suaka mulai panik ketika IOM berhenti memberikan bantuan pengobatan. Salah seorang pencari suaka yang sakit terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Krakatau Steel, di bawah pengawalan personel TNI Angkatan Laut.

Pada 10 Oktober lalu TNI Angkatan Laut menahan kapal kayu yang ditumpangi 255 pencari suaka asal Sri Lanka. Mereka adalah pengungsi konflik bersenjata di Sri Lanka yang berniat mencari suaka politik ke Australia.

Pemerintah Indonesia menangkap dan menahan mereka karena terikat perjanjian dengan Australia mengenai penanganan pencari suaka. Indonesia diminta menahan seluruh pengungsi yang akan memasuki perairan Australia, dengan imbalan bantuan ekonomi dan keuangan. (E1)

Foto: Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Pencari Suaka dan Pengungsi

Indonesia Rentan Terhadap Pencari Suaka

JUBI---Indonesia pada dasarnya bukan negara tujuan atau transit dari para pengungsi atau pencari suaka. Namun kenyataannya, hal ini tetap saja terjadi.

Perwakilan Departemen Hukum dan HAM, Ellan Agustav dalam Seminar On Inter-Agency Coordination In Handling Asylum Seekers and Refugees In Indonesia, Co- Sponsored Directorat General Of Imigration, UNHCR, Departemen Hukum dan HAM, di Caffe Belafiesta, Merauke (22/10), mengatakan, penanganan masalah pencari suaka ini diperparah lagi dengan adanya masalah kelembagaan, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana serta anggaran yang lemah.
“Ditinjau dari perspektif hukum keimigrasian, penanganan pengungsian di Indonesia tidak memiliki dasar hukum. Selama ini upaya perlindungan terhadap pengungsi yang ada di Indonesia sangat dikaitkan dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang berlandaskan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999,” jelasnya.
Menurut Ellan, peran keimigrasian sangat penting dalam penanganan keimigrasian, karena diantara pengungsi, ternyata ada yang masuk secara legal maupun ilegal ke wilayah NKRI. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan pihak keimigrasian akan menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
Dia berpendapat, dalam hal kelembagaan, sampai saat ini belum ada satu lembaga pemerintah yang secara khusus menangani masalah pengungsi. Operasionalisasi penanganan yang dilakukan lebih banyak berdasar pada otoritas masing-masing lembaga dengan dukungan IOM dan UNHCR.
Begitu pula dalam ketersediaan sarana dan prasarana untuk menampung pengungsi secara baik, benar, sehat dan sesuai standar kemanusiaan, kata dia, pemerintah Indonesia belum menyiapkan suatu tempat khusus yang mampu menampung pengungsi, baik secara kapasitas maupun kualitas.
Kaitannya dengan ketersediaan anggaran, menurut Ellan, Pemerintah Indonesia memerlukan keseriusan untuk memberikan perlindungan pada pengungsi. “Anggaran diatur sesuai APBN yang disesuaikan dengan kemampuan negara,” katanya.
Sesuai Kepres Nomor 40 tahun 2004 tentang rencana aksi nasional, Indonesia direncanakan akan mengakses Konfrensi Wina tahun 1951 tentang pengungsi dan perlindungan pengungsi. “Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk melakukan perlindungan penuh terhadap pengungsi. Imigrasi sebagai leading sektor tentunya harus berperan aktif dalam lalu lintas pengungsi bersama-sama instansi terkait dari pusat hingga daerah untuk penanganan pencari suaka,” tandasnya. (drie/Merauke)

Ide Pusat Suaka Kontroversi

SYDNEY – Australia akan berdialog dengan Pemerintah Timor Leste dan Indonesia,pekan ini, untuk membahas rencana pembentukan pusat pencari suaka di Timor Leste.
Beberapa hari setelah dilantik, Perdana Menteri (PM) Australia yang baru, Julia Gillard, melontarkan rencana mendirikan pusat pencari suaka di Timor Leste.Rencana yang terkesan buru-buru ini diambil karena Julia khawatir dengan jumlah imigran asing yang terus berdatangan ke Australia.
“Pusat pencari suaka kawasan akan mengurangi kedatangan kapal imigran gelap ke Australia,”kata Gillard di depan pejabat jurusan Kebijakan Internasional Institut Lowy,Sydney. Gillard mengakui dirinya lebih suka berpikir secara sederhana. Pusat pencari suaka di Timor Leste adalah salah satu buktinya.
“Kenapa harus mengambil risiko besar jika Anda bisa dengan mudahnya mendirikan pusat urusan pencari suaka?”papar Gillard. Bagi Gillard, upaya penanggulangan imigran gelap dan pencari suaka merupakan “tantangan global”.

Pengganti Kevin Rudd itu bersikap cukup terbuka dengan memberikan beberapa detail pembentukan pusat pencari suaka. Namun,rencana Gillard ternyata dikritik sebagian pihak di Timor Leste.Menteri Luar Negeri (Menlu) Australia Stephen Smith membenarkan kondisi ini.Dia meminta pemerintah negara terkait menyikapi kebijakan ini dengan pertimbangan yang matang.
Smith yang membela Gillard mengingatkan bahwa PM Australia sudah bekerja keras demi menelurkan kebijakan ini. Bagi Smith,kebijakan pembentukan pusat pencari suaka merupakan sesuatu yang sulit. Dia ingin semua pihak menghargai apa yang tengah diupayakan Gillard. Dia tidak menyangka bakal mendapat respons yang jauh dari ekspektasi awal.
“Orang-orang yang kami harapkan bakal mendukung rencana ini ternyata kurang menghargai realitas sebuah isu besar di kawasan, bukan hanya Australia,”ujar Smith. Ditambahkan Menlu Australia, pihaknya akan secepatnya mendiskusikan rencana Gillard dengan dua pemerintah yang diketahui memberikan reaksi secara cepat, yaitu Indonesia dan Timor Leste.
“Saya akan mendiskusikan masalah pusat pencari suaka itu di Indonesia pekan ini dan kami akan mulai mendiskusikan secara detail dengan Timor Leste,”papar Smith. Semua berawal ketika Gillard, beberapa waktu lalu,menuturkan dia sudah mengadakan dialog dengan Pemerintah Timor Leste.
Disebutkan Gillard, pemerintah kedua negara telah mendiskusikan isu penyelundupan manusia, khususnya yang dibawa naik kapal ke perairan Negeri Kanguru. Dalam diskusi tersebut, Julia turut menekankan penyediaan rumah bagi para imigran. Dia melihat Timor Leste sebagai salah satu tempat yang memungkinkan untuk mendirikan pusat pencari suaka.
Ternyata,rencana Gillard mendapat banyak kritik di Timor Leste. Gillard yang telah berbicara dengan Presiden Timor Leste Jose Ramos-Horta diprotes karena tidak membicarakan rencana tersebut dengan Perdana Menteri (PM) Timor Leste Xanana Gusmao.
Padahal, Xanana Gusmao memiliki hak dan kekuasaan yang lebih besar dibandingkan Ramos- Horta. Gillard kembali dikritik karena tidak mengonsultasikan rencananya dengan Indonesia yang selama ini menjadi tempat singgah utama para imigran sebelum menuju Australia.
Gillard merasa rencananya sudah matang karena telah berdiskusi dengan pejabat internasional terkait,termasuk Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pengungsi Antonio Guteres dan PM Selandia Baru John Key.
Gillard menyatakan akan menerapkan kebijakan tegas dalam masalah imigran. Kebijakan ini berbeda dengan Rudd yang lebih terbuka dan moderat dalam masalah imigran. Orang tua Julia merupakan imigran. Bersama kelompok imigran lain, mereka berhasil masuk ke Australia pada 1966. Selama bertahun- tahun, Australia menjadi destinasi utama para pencari suaka.
Mereka masuk ke perairan Australia dengan menumpang kapal atau perahu secara ilegal. Semua yang pernah menjabat PM Australia menjadikan isu imigran sebagai persoalan penting. Dari tahun ke tahun, jumlah imigran bukannya berkurang,tapi justru semakin banyak.

Di satu sisi, Australia membutuhkan imigran dengan kete-rampilan tinggi untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja ahli di sektor industri.Namun, di sisi lain, kalau warga Australia semakin bertambah, pekerjaan pemerintah pun kian menumpuk. (Koran SI/Koran SI/Koran SI/anastasia ika) (//faj)

Australia Beralih Ke Indonesia Urusan Pencari Suaka

Australia Beralih Ke Indonesia Urusan Pencari Suaka

(Vibizdaily - Internasional) Pemerintah Australia di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Julia Gillard tengah berlomba `menjual` solusi masalah pencari suaka yang memasuki perairan Australia dengan menumpang kapal penyelundup manusia.

Seperti diberitakan media massa Australia, pada Selasa (6/7) PM Gillard mengatakan bahwa pemerintahannya akan memperkokoh kerja sama dengan negara-negara tetangga dan berusaha menggandeng Timor Leste sebagai pusat penanganan para pencari suaka.

Namun pemerintahan Dili tidak menyambut pernyataan PM Gillard dengan cukup antusias.

Melihat hal itu pada Rabu siang (7/7), PM Gillard di sela-sela kunjungannya di Darwin, Northern Territory, mengumumkan kebijakan soal pencari suaka yang akan dijalani oleh pemerintahannya dan Partai Buruh (ALP) adalah memberikan paket bantuan kepada Indonesia dan beberapa negara tetangga.

Dalam rinciannya, Australia akan menyediakan kapal-kapal patroli dan pesawat pemantau ke Indonesia, sebagai bagian dari paket bantuan senilai 25 juta dolar Australia untuk melawan penyelundupan manusia (1 dolar Australia = Rp7.800).

Bantuan ini juga memuat alat-alat komunikasi untuk membantu kepolisian Indonesia mendeteksi dan mencegah para penyelundup manusia masuk ke perairan Indonesia.

Paket serupa juga akan diberikan kepada Malaysia, Thailand, Pakistan dan Sri Lanka.

Menurut Gillard, paket bantuan ini kembali menegaskan komitmen pemerintah Australia untuk bekerjasama dengan negara-negara tetangga dan asal pencari suaka menangani masalah penyelundupan manusia.

(bns/BNS/ant)

Pusat Hukum Pengungsi

Wahama bagi peminat studi hukum pengungsi